BANDUNG | BeritaOki | Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Daerah (RPJPD) adalah dokumen strategis yang merancang
pembangunan untuk 20 tahun ke depan. Dokumen yang telah disahkan menjadi
Peraturan Daerah ini berfungsi sebagai alat untuk mengarahkan,
mengkoordinasikan, dan mengendalikan proses pembangunan serta sebagai upaya
antisipasi terhadap ketidakpastian masa depan.
RPJPD Jawa Barat
mencakup periode 2025-2045 dan disusun dengan mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang juga berlaku untuk tahun yang sama. Hal
ini memastikan keselarasan antara visi pembangunan provinsi dan nasional,
dengan tujuan utama mencapai “Visi Indonesia Emas 2045”, yaitu mewujudkan
Indonesia yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan.
Dokumen RPJPD Jabar
terdiri dari enam bab dan delapan pasal, yang juga berfungsi sebagai pedoman
bagi penyusunan Rencana Jangka Panjang Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan dokumen perencanaan lainnya. Selain itu,
RPJPD ini menjadi acuan untuk pengembangan RPJPD di tingkat kabupaten/kota di
Jawa Barat.
Visi Jabar 2045 yang
tertuang dalam RPJPD adalah “Provinsi Jawa Barat Termaju, Berdaya Saing Dunia,
dan Berkelanjutan”. Dalam penyusunannya, berbagai aspek strategis harus
diperhatikan, termasuk geografi, demografi, isu nasional, regional Jawa Bali,
serta kesejahteraan masyarakat dan daya saing daerah.
Evaluasi terhadap
RPJPD sebelumnya, yang tertuang dalam Perda Nomor 22 Tahun 2010, juga menjadi
penting. Selain itu, analisis tren demografi dan kebutuhan infrastruktur
pelayanan publik harus dilakukan untuk mendukung pengembangan pusat pertumbuhan
wilayah.
Arah kebijakan dan
sasaran pembangunan daerah harus jelas tertuang dalam Perda RPJPD yang baru.
Poin penting lainnya adalah pelaksanaan, pembiayaan, dan manajemen risiko, yang
juga perlu dipertimbangkan secara matang.
Dengan 45 indikator
kinerja utama (IKU) yang ditetapkan, penting untuk memastikan bahwa target yang
ada realistis dan dapat diimplementasikan. Keterkaitan antara provinsi dan
kabupaten/kota sangat diperlukan untuk mengakumulasi target tersebut, sehingga semua
pihak dapat berkolaborasi demi mencapai hasil yang diinginkan.
Pertanyaan yang muncul
adalah apakah daerah diperkenankan untuk melakukan diskresi dalam pelaksanaan
RPJPD, dan sejauh mana batasan toleransi yang diberikan oleh pusat. Selain itu,
bagaimana integrasi kearifan lokal dapat diakomodasi dalam RPJPD menjadi hal
yang menarik untuk dibahas, terutama dengan adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
(UU HKPD) yang berdampak pada kemampuan fiskal daerah.
Pemberlakuan UU HKPD
membawa perubahan signifikan pada besaran dana bagi hasil (DBH), di mana
Provinsi Jawa Barat diperkirakan mengalami “turbulensi APBD” jilid II sekitar
Rp 6 triliun. Di sisi lain, kabupaten/kota akan merasakan manfaat dari
peningkatan persentase DBH, dari 30% menjadi 70%.
Kondisi ini tentu saja akan memengaruhi volume pembiayaan program dan kegiatan di setiap tingkatan pemerintahan. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Jawa Barat perlu mencari sumber pendapatan alternatif, baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Mampukah mereka mengatasi tantangan ini? Waktu yang akan menjawab.(adv)