.
JAKARTA | BERITAOKI.COM | Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya menyampaikan pesan yang
disampaikan Dyah Murtiningsih, Dirjen Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan
Rehabilitasi Hutan , PDAS-RH, saat paparan refleksi akhir tahun pertengahan Desember
kemarin. Bahwa, kata Menteri, dalam pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan,
hendaknya tak lagi sebatas, berapa jumlah pohon yang ditanam, tapi juga,
bagaimana mengelola masyarakat di sekitar DAS.
Karenanya,
pendekatan konsep pengelolaan DAS kini dan ke depan, kata Dyah Murtininggsih,
program Ditjen PDAS RH, akan mengutamakan 3 aspek yang menjadi dasar dalam
mewujudkan itu. Pertama, economically feasible atau layak secara ekonomi.
Kemudian, bisa diterima masyarakat. Dan aspek ketiga, lingkungan lestari.
Melalui
pendekatan ini, sejumlah tujuan dari pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan
bisa terwujud. Dan ini mencakup; bagaimana menjaga Menara air secara alami,
meningkatkan produktifitas, meningkatkan peran serta masyarakat. Lebih dari
itu, juga bagaimana menjadikan lokasi DAS sebagai destinasi wisata, sumber
ketahanan pangan, dan peningkatan ekonomi nasional atau PEN, serta mitigasi
bencana dan penyerapan karbon.
“Nah,
sejumlah tujuan ini sudah dijabarkan Ditjen PDAS-RH dalam berbagai program yang
diharapkan, semuanya bisa direalisasikan secara nyata di lapangan” katanya.
Sebelumnya,
Dyah mengajak untuk memahami konsep dasar pengelolaan DAS yang menjadi tugas
dan fungsi atau tusi, Ditjen PDAS RH. Kata Dyah, bahwa DAS merupakan upaya
manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara aktivitas manusia
dengan sumber daya alam. Terutama lahan, vegetasi, dan air. Dengan konsep ini,
maka eksistensi DAS, dapat memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat
sekitar. Sekaligus juga melestarikan lingkungan.
“Karenanya,
pengelolaan DAS ini dilakukan secara holistik dari hulu sampai hilir,” jelas
Dyah Murtiningsih, sembari menegaskan, bahwa dalam pengelolaan DAS, Ditjen PDAS
RH, telah melakukan klasifikasi terhadap 42.210 DAS yang tersebar di berbagai
daerah di Indonesia.
Klasifikasi
DAS ini disusun sebagai basis untuk menentukan kebijakan penyelenggaraan dalam
pengelolaan DAS. Penentuannya didasarkan pada beberapa kriteria; seperti
kondisi lahan yaitu lahan kritis. Tingkat penutupan lahan dan juga erosi.
Kemudian kualitas, kuantitas dan kontinyunitas air, dan juga sosial ekonomi investasi
bangunan air serta pemanfaatan ruang wilayah.
Pada saat ini, hasil inventarisasi Ditjen PDAS-RH, terdapat sekitar 37.721 unit DAS, tersebar hampir di semua wilayah di Indonesia. Namun dari jumlah ini, yang menjadi target pemulihan hanya sekitar 4.489 unit DAS. Adapun DAS yang lain, masih tetap dipertahankan karena kondisinya masih cukup baik, dan belum rusak.
Dalam
masa 5 tahun ke depan, sejak 2020 hingga 2024, Ditjen PDAS-RH, telah menetapkan
skala prioritas pada 108 unit DAS yang menjadi target pemulihan dan rehabilitasi
yang menjadi target dalam kurun 5 tahun ke depan, hingga 2024, sebanyak 108
unit DAS.
Dari
jumlah DAS yang dipulihkan ini, kata Dyah Murtiningsih, pada tahun 2020– 2024,
ada 108 DAS yang diprioritaskan untuk segera dipulihkan. Pada DAS yang sudah
berhasil dipulihkan, Ditjen PDAS – RH menempatkan SPAS atau stasiun pengamat
aliran sungai. Pada SPAS ini, ditempatkan alat untuk mengetahui kondisi
kesehatan kontinyunitas aliran DAS atau sub DAS.
Ke
depan, menurut Dyah lagi, akan dikembangkan lebih lanjut dan nantinya, disinergikan
dalam sistem informasi pengelolaan DAS yang berbasis online yang saat ini
sedang dibangun dan dikembangkan. “Di dalam pengembangan system informasi ini,
Ditjen PDAS-RH bekerjasama dengan perguruan tinggi,”ujarnya.
Dyah
memberikan contoh atau simulasi model pemulihan Daerah Tangkapan Air (DTA) Rwa
Pening. Dalam simulasi ini, ada intervensi fisik, melalui simulasi impact
assesement dari penetapan lokasi dan kemudian juga ada intervensi fisik RHL
nya. Termasuk juga pengaruhnya terhadap suatu lokasi agar memberikan dampak
yang paling efektif dan efisien terhadap pemulihan DAS nya. Dan ternyata, perbaikan
koefisien aliran tahunan dengan simulasi agroforestri dan strip rumput,
menunjukan adanya perbaikan.
Di
dalam rangka melaksanakan kegiatan RHL ini, diakui Dyah, PDAS RH, hal ini tentu
tidak bisa bekerja sendiri dalam pengelolaan DAS maupun dalam rangka intervensinya.
Perantara pihak akan menjadi sangat penting untuk melaksanakan pengelolaan DAS
secara terpadu. Setiap institusi atau lembaga, masing-masing mempunyai peran
dan fungsi.
Adapun
kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan DAS, kini ada Forum Peduli DAS,
selain ditingkat pusat juga ada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia. “Di tingkat provinsi, kini sudah ada 24 peraturan atau kebijakan
yang berkaitan dengan DAS. Begitu di tingkat kabupaten atau kota, sudah ada
Peraturan Daerah tentang pengelolaan DAS ini,”jelas Dyah lagi.
Tidak
hanya Forum DAS, kelembagaan yang berkaitan dengan pengelolaan DAS-RH ini, juga
ada kelompok-kelompok kerja, baik kelompok kerja pemerintah, maupun kelompok
kerja masyarakat. Sebut saja misalnya, dalam pengelolaan mangrove yang juga merupakan
bagian dari “tusi” Ditjen PDAS-RH. Kini diberbagai daerah, sudah berkembang
Kelompok Tani Hutan Mangrove, dan kelompok tani hutan lainnya yang mendukung
pelaksanaan RHL di darat.
Banyak
sukses dari program RHL ini dan memberikan dampak positif bagi kehidupan
masyarakat. Hanya memang, Dyah tidak merinci satu persatu atas kesuksesan yang
telah dicapai tersebut. Namun sekadar contoh, Dyah menyebut, program RHL di
Desa Harkatjaya, Kabupaten Bogor – yang sempat dilanda banjir dan longsor. Kini
lokasi yang sempat tandus tersebut, sudah mulai menghijau dengan ribuan tanaman
penyangga,”katanya.
Bukan
hanya Dese Harkadjaya, kasus lahan tandus yang kini tutupan lahannya sudah
menghijau, di Banjar, Kalimantan Selatan, dalam wilayah kerja, BPDAS HL Barito.
Pada tahun 2004, areal tersebut dikatakan Dyah tandus tak berhutan. Namun pada
2020, sudah sangat menghijau dengan tingkat kerapatan pohon yang cukup padat.
Begitu
juga dengan lahan mangrove di Lubuk Kertang, Langkat, Sumatera Utara. Kondisi
awalnya sangat kritis. Namun setelah dilakukan penghijauan, 2013, kondisinya
dari tahun ke tahun mulai membaik. Dan di 2020, areal itu sudah ditumbuhi
mangrove yang sangat subur, dan bukan hanya mangrove yang berkembang tapi
sejumlah habitat laut, seperti ikan, udang dan juga kepiting pun sudah
berkembang biak di dalamnya.
Kemudian
dampak lain dari RHL, yang cukup dirasakan adanya penambahan pendapatan
masyarakat. Baik dari kegiatan RHL vegetatif maupun bangunan KTA selama kurun
2021. Dan juga hasil dari persemaian.
.
“Banyak
juga kerja kerja yang kita lakukan, sangat dirasakan masyarakat,” kata Dyah
lagi. Dyah menyebut, dalam program bibit gratis, sudah dirasakan manfaatnya
masyarakat. Dan media juga menangkap itu dan memberitakan dengan baik ini yang
terjadi di Sulawesi Selatan, di Lumajang dandiberbagai daerah lainnya”
paparnya.